Minggu, 07 Februari 2016

"Gadis di Balik Dinding"

sumber gambar ilustrasi: icallikal.blogspot.com



Siang ini langit begitu cerah. Namun teriknya tidak menusuk. Ada keteduhan yang sengaja diberikan oleh awan tipis lembut itu, seakan dengan rela ia memayungi dari sengat mentari. Dan kecerahan siang ini sama cerahnya dengan senyum gadis yang sedang duduk di ujung bangku padang bunga itu, dia sedang memegang sesuatu di tangannya.
Ia nampak tersenyum bahagia. Sedari tadi sibuk membolak-balik dan menimang-nimang sebuah persegi panjang hijau yang masih mengilat itu. Senyumnya semakin mengindah, karena rona pipinya nampak semakin memerah. Entah karena terusap cahaya siang yang menyusup di antara rongga awan, atau karena memang sedang ada butiran-butiran buih yang membuncahi hatinya saat ia menemukan sepucuk surat dalam salah satu kotak yang lebih kecil dalam persegi panjang hijau itu.
"Kau boleh mengambil itu jika kau suka, Nona." Ujar sebuah suara dari arah depan mengagetkannya. Ia tak sadar jika ada seseorang yang berdiri di sana sedari tadi. Memerhatikan gerak-gerik dan rona merah pada pipi yang tak tirus namun juga tak tembam itu.
"Oh, maafkan aku, Tuan. Ini milikmu?" tanyanya tergagap.
"Tak apa jika kau mau." Balas orang asing di hadapannya itu sembari mengulas senyum. Senyum yang tak pernah bisa diartikan gadis itu.
Tapi tunggu, asing? Sepertinya tidak. Hanya saja ia memang tak pernah bersua dengannya sedekat ini, tapi ia bukan sosok yang asing. Gadis itu sudah cukup lama mengenalnya, mengenal laki-laki berkaos hitam di hadapannya itu.
"Terimakasih. Permisi." Ujar gadis itu kemudian langsung beranjak pergi. Ia tertunduk malu. Malu jika saja orang di hadapannya itu tahu rona pipinya semakin memerah. Untung saja ia menemukan sebangun dinding pembatas di balik salah satu pohon sekitar padang bunga itu. Dan ia memutuskan untuk bersembunyi saja di sana.
Ia ingin leluasa membaca potongan surat itu yang ia yakini ditulis oleh orang tadi, namun entah untuk siapa. Toh, bukan masalah juga baginya perihal tertuju pada siapa surat dan persegi panjang hijau itu. Hanya saja yang ia bingungkan, mengapa tulisan dan bingkisan indah ini semudah itu ditinggalkan kemudian diberikan padanya?
Ah, sudahlah. Tak penting. Sekarang yang sedang ada dalam benak gadis itu hanyalah surat itu. Indah. Ia suka, tak bosan-bosannya ia membaca berkali-kali. Sambil sesekali gadis itu mencuri pandang terhadap apa yang dilakukan sosok laki-laki pemilik barang yang kini menjadi miliknya itu.
"Kau sedang apa?" Dinding itu bertanya dan memandang bingung gadis yang sedang menatap dengan mata awas pada seorang lelaki dari balik punggung sang dinding.
"Jangan riuh. Ku mohon. Izinkan aku untuk tahu lebih jauh tentangnya." Ujar gadis itu dengan tatapan memohon.
"Baiklah. Tak masalah." Jawab sang dinding tak begitu mengacuhkan si gadis. Gadis sedikit lega, dan kembali melanjutkan pengamatannya pada lelaki berkaos hitam itu.

*****

Senja ini gadis itu kembali ke padang bunga kesayangannya. Setelah kemarin siang ia bertemu dengan seorang laki-laki berkaos hitam yang dengan rela dan begitu saja menyerahkan bingkisan hijau dan sepucuk surat yang entah untuk siapa. Bahkan, gadis itu tak pernah berani terpikir bahwa surat itu tertuju untuknya. Tidak mungkin. Memangnya, siapa dia?
Senja ini ada yang berbeda. Biasanya gadis itu pergi ke padang bunga dengan tangan kosong, tapi hari ini ia membawa sebuah pena dan selembar kertas yang ia masukkan ke dalam persegi panjang dari lelaki berkaos hitam kemarin siang. Yang tak berubah adalah, dia tetap duduk di ujung bangku itu. Bangku panjang di antara rekahan bunga-bunga yang ketika angin meniupnya seakan menari-nari dengan anggun.
Gadis itu mulai menuliskan sesuatu pada kertas yang ia bawa.
"Hey, kau menulis apa?" Tanya sebuah suara tepat ketika ia menitikkan kalimat terakhirnya. Ternyata suara itu, laki-laki kemarin.
"Boleh aku membacanya?" Dengan ragu ia mengulurkan tangannya untuk memberikan secarik kertas yang telah ia tulisi itu. Ia sebenarnya malu, tapi memaksa untuk memberanikan diri. Entah kenapa, tak biasanya ia senekat itu.
"Oh, jadi kau penasaran untuk siapa suratku dan bingkisanku kemarin?" Tanya laki-laki itu menebak setelah membaca apa yang gadis itu tulis dalam kertasnya. Gadis itu hanya diam dan mengangguk perlahan.
"Dia bukan orang istimewaku." Ujarnya kemudian mengulas segaris senyum. Lagi-lagi, senyum yang tak bisa diartikan oleh si gadis.
"Tapi itu indah, Tuan. Apakah mungkin tulisan seindah itu bukan untuk orang yang istimewa?" Ujar gadis itu bertanya. Akhirnya ia membuka suara.
"Entahlah." Jawab lelaki itu singkat.
"Itu bukan jawaban." Timpal gadis itu cepat. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia masih benar-benar penasaran tentang orang yang lelaki itu tuju.
"Begini, Nona. Bukankah, kemarin aku sudah mengizinkanmu memilikinya? Maka anggap saja itu untukmu. Jadi kau tak perlu risau lagi memikirkannya." Jawab lelaki yang tak lagi berkaos hitam itu kemudian. Abstrak. Ia memakai warna abstrak kali ini. Sama abstraknya seperti jawaban yang baru saja ia berikan pada si gadis.
"Baiklah, saya permisi. Maaf jika pertanyaan saya mengganggu." Ujar gadis itu lalu beranjak pergi.
Ia sedikit kecewa dengan jawaban lelaki asing yang sebenarnya tak asing baginya itu. Tapi, jawaban yang baru saja teontar dari lelaki itu, tanpa sadar kembali meronakan pipinya. Seakan ada buih-buih asing yang mendebur dari perutnya, kemudian meluap ke dada hingga memunculkan rona merah di pipinya.
Seperti ada rasa yang ia tak pahami.
Gadis itu pergi. Ia kembali bersembunyi di balik dinding. Memerhatikan lelaki yang kini menggantikannya duduk terdiam di ujung bangku itu. Berusaha mencari makna senyuman dan juga jawaban yang baru saja ia dapatkan. Meskipun sulit. Ia tetap tak mengerti, bahkan hingga lembayung senja menghitam di makan rembulan.

*****

Lama. Lama sekali. Semenjak gadis itu bertemu dan diberi sepotong surat yang hingga kini belum terjawab untuk siapa surat itu ditujukan, ia selalu setia menunggu lelaki itu di ujung bangku padang bunga ini. Menunggu untuk menceritakan dan mendengar cerita banyak hal. Setiap hari. Namun terkadang, sesekali gadis itu hanya melihat si lelaki dari balik dinding. Entah kenapa ia suka bersembunyi di sana. Ia berharap si lelaki kebingungan mencarinya yang tak ada. Harapan yang kekanakan dan aneh, bukan? Memangnya, siapa dia bagi laki-laki itu?
Dan senja ini  gadis di balik dinding itu mendecak geram. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Sedari tadi ia berjalan bimbang ke sana ke mari, mengitari padang bunga, duduk resah di ujung bangku kesayangannya, menimang-nimang persegi panjang hijau yang mulai usang itu dengan sendu, hingga kembali lagi ke balik dinding,
"Kau kenapa?" bisik bingkisan hijau di hadapannya bingung.
"Tidak tahu," jawab gadis itu murung.
"Sepertinya kau rindu." Seketika gadis itu terkesiap. Menatap tak percaya dengan apa yang baru saja terucap oleh benda di hadapannya. “Kau gelisah menunggu seseorang yang kau panggil tuan itu, bukan?” lanjutnya.
"Tidak!" Tegas si gadis. Tak mungkin ia rindu. Ia tak merasa memiliki perasaan apapun pada lelaki itu, meskipun sering ada buih dan rona yang menyeruak pada jantung dan wajahnya.
"Lantas?"
Gadis itu hanya diam. Ia tak sanggup lagi menjawab dan menyangkal pernyataan sekaligus pertanyaan yang terlontar oleh persegi panjang hijau yang ia dapatkan setahun lalu. Hatinya resah, sudah berhari-hari lelaki berkaos hitam itu tak datang ke padang bunga ini.
Meskipun beberapa hari yang lalu, ia masih melihat lelaki itu melintas di jalanan yang memisahkan padang bunga itu dengan danau, tapi sayang, ia tak datang ke padang bunga itu. Menengok pun terasa enggan. Bahkan kemarin, si gadis juga melihat sekelebat bayang lelaki itu melintas lagi, sepertinya ia melirik ke arah padang bunga. Hendak masuk. Namun setelah melihat gadis itu, si lelaki berbalik arah dan pulang, mengurungkan niatnya untuk masuk.
Gadis itu tak mengerti. Apa yang terjadi?
"Basuh mukamu. Sadarlah! Lebih baik kau segera pergi, percuma kau menunggunya di sini. Ujar persegi panjang hijau itu membuyarkan lamunan si gadis. Di ujung sana ada yang menunggumu,Ia menunjuk setitik jalan setapak yang tak nampak ujungnya.
Gadis itu hanya terdiam setelah mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk persegi panjang hijau yang mulai usang itu.
"Tapi sebelumnya, beri satu hal untuk lelaki di antara bunga itu. Paling tidak dia tahu bahwa sebenarnya ada yang tetap peduli padanya selama ini."
Gadis itu mengerutkan keningnya, berlikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan, dan... "Manisan. Ya, manisan!" Pekik gadis itu dalam hati.
*****
Hari ini siang baru saja akan beranjak dari tahtanya, dan senja masih merangkak perlahan untuk menggantikan kekuasaan. Gadis itu terkesiap, ketika sepotong manisan yang ia genggam dalam bingkisan alakadar itu bertanya. "Akan di bawa kemana aku?"
Gadis di balik dinding itu tersenyum lembut dan berkata, "Kepadanya," ujarnya seraya menunjuk seseorang yang sedang berdiri di tengah-tengah padang bunga warna-warni yang hari ini sedang berada pada puncak mekar seindah-indahnya itu
"Bersikap manislah padanya, ya? Tapi jangan membuatnya ngilu karena manismu. Melunaklah. Demi aku. Apa kau mau?" Gadis itu menyunggingkan senyum. Penuh harap.
Ia sengaja tak masuk ke dalam padang bunga itu. Ia tak mau seperti kemarin, ketika lelaki itu mengetahui sang gadis berada di padang bunga, si lelaki justru mengurungkan niatnya untuk memasuki padang bunga itu.
"Kau tak ingin ke sana?" Tanya dinding tempat gadis itu selama ini bersembunyi ketika rona merah pada pipinya mulai muncul karena lelaki itu.
Sang gadis menggeleng dan tersenyum tipis.
"Bukankah selama beberapa hari terakhir, saat lelaki itu tak datang ke padang bunga ini, kau selalu resah menunggunya?" Tanya dinding itu lagi untuk memastikan.
"Tidak perlu. Aku harus pergi sekarang. Aku sadar. Kenapa harus aku merisaukannya yang belum jelas bagiku, dan melupakan yang sudah menantiku di ujung jalan sana?" Sang dinding hanya diam dan menatap bingung. Ia tak mengerti.
"Meskipun yang di ujung sana pun masih belum jelas siapa. Tapi aku akan mencarinya, berjalan menuju padanya, tidak hanya terpaku pada lelaki yang aku belum yakini. Toh, jika yang tertakdir berada di ujung jalan sana adalah lelaki itu, aku pasti akan menemuinya lagi, bukan?" Gadis itu menghela nafas sejenak dan tersenyum. Mencoba menenangkan dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Jalanku masih butuh waktu lama. Akan sia-sia jika aku hanya mengharap di padang bunga yang sebenarnya hanya singgahanku ini. Aku harus menemukan jalan dan pemberhentianku yang sebenarnya." Lanjut gadis itu. Sang dinding hanya mengangguk perlahan dan tersenyum. Ia mengerti sekarang.
"Baiklah. Tinggalkan aku di ujung kursi itu. Aku yakin dia akan mengambilku," ujar manisan itu menyetujui permintaan sang gadis. Memecah percakapan dinding yang tanpa sadar memotong percakapannya dengan si gadis.
Persetujuan yang baru saja dilontarkan  manisan itu berhasil membuat senyum gadis itu semakin melebar, meski matanya berair, tapi ia merasa lebih lega sekarang, "dan untukmu, gadis. Hati-hati dalam perjalananmu." lanjut manisan itu ikut tersenyum simpul.
Setelah gadis meletakkan manisan itu di ujung bangku, ia bergegas melangkah pergi. Meninggalkan sang lelaki yang masih belum menyadari jika sedari tadi ada gadis itu, dan sekarang telah pergi meninggalkannya. Wajar saja tak sadar, ia termenung dengan posisi yang berdiri membelakangi bangku kesayangan gadis itu dan si lelaki-dulu.

Gadis itu pergi. Mencari jalannya. Mencari tujuan utamanya yang masih belum bisa ia tahu dan temukan. Satu yang akan selalu ia pegang. Jika tujuan itu tak berakhir pada lelaki itu, berarti ada orang lain yang memang lebih tepat ia tuju. Namun, jika tujuan  itu tak bertumpu pada orang lain, maka sudah bisa dipastikan, lelaki itu yang akan ditemuinya nanti. Pada waktu yang tepat, dan jalan yang tepat.

Ia yakin. Benar-benar yakin.

#GadisdiBalikDinding


-Tulungagung, 25/10/15, 21:01-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar