Selasa, 09 Februari 2016

"Ikhlas Melepasmu"

Sumber ilustrasi: hardinanana.tumblr.com




"Ikhlas melepasmu..."

Kalimat itu yang beberapa waktu terakhir sering melayang-layang bebas dalam benak hingga terlontar mulus lirih dari bibirku. Tidak hanya
sering, tapi memang ia selalu terngiang dan tersebut ketika selintas aku terpikirkan tentangnya. Ya, dia. Mungkin kau tak tahu siapa sosok itu, atau kau sebenarnya tahu namun tidak menyadarinya? Atau ku kira sebenarnya kau memang tahu, pun sadar dengan siapa sosok yang ku maksud ini, hanya saja kau enggan mengakui jika itu dirinya. Entahlah, apapun alasanmu. Tapi, ya, dia. Dia yang selalu menjadi tokoh tersembunyi dalam setiap sajak milikku. Untaian sajak yang seperti tak berpenghuni nyata, namun sebenarnya dia ada. Di depan mata.

Baiklah, perihal ikhlas. Aku tak tahu pasti, ikhlas yang sering terngiang dalam benakku ini memang bukti keikhlasan hatiku untuk melepasnya, atau hanya imajiku saja yang mencoba meyakinkan diri bahwa aku benar-benar harus mengikhlaskannya?

Kau tahu, penulis favoritku, Darwis Tere Liye—yang sering kali dikira seorang wanita oleh para pembaca yang baru mengenalnya?Ada satu kutipan yang begitu membekas,
“Sejatinya, rasa suka tidak perlu diumbar, ditulis, apalagi kau pamer-pamerkan. Semakin sering kau mengatakannya, jangan-jangan dia semakin hambar, jangan-jangan kita mengatakannya hanya karena untuk menyugesti, bertanya pada diri sendiri, apa memang sesuka itu” -Novel: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah-

Aku pun tak yakin pasti, jika apa yang baru-baru ini terngiang dan tersebut olehku ketika aku terpikirkan tentangnya adalah kebenaran atas keikhlasanku, atau justru merupakan sugesti belaka. Hanya semacam bentuk bentakan pertanyaan pada diri, "Apa benar aku sudah seikhlas itu?".

Entahlah, aku pun tak tahu. Hanya saja setidaknya, beberapa waktu terakhir ini, hatiku sudah tak begitu tergelitik lagi untuk berusaha mencaritahu tentangnya. Mataku sudah tak haus lagi tentang postingan-postingan gambar kegiatan sehari-harinya. Bahkan, jariku sudah tak segila dulu meronta untuk membuka lembar-demi lembar akun media sosialyang sebenarnya aku tahu, ia bukan seorang penggila dunia maya. Dan hebatnya lagi, pesan-pesan singkat yang dulu selalu ingin ku sematkan pada dinding layar sentuhnya kini sudah hampir terlupakan olehku. Mengagumkan, bukan?

Namun lagi-lagi pertanyaan tentang ikhlas itu mengusik ketenangan dan kebanggaanku, apakah benar bisa disebut ikhlas, jika ku katakan aku rela melepasnya pergi, namun tali saisku masih ku kekangkan erat padanya? Apakah betul hatiku ikhlas, jika ku sebut aku sudah tak lagi membutuhkannya ada, namun nyatanya pintalan benangku masih menjerat kuat di ujung jubah hatinya?

Ah, sudahlah. Ku rasa lelahku hampir mencapai akhir. Gemuruh hatiku berkata bahwa aku telah benar-benar merelakannya pergi bersama setumpuk kebiasaan yang kini sudah mulai bisa ku alihkan, ku gadaikan dengan kebiasaan baru, ku buang bersama kepingan sampah  memori lama. Ya, aku yakin. Dan keyakinan itu tumbuh membesar hingga di mana ku titikkan kalimat ini sekarang.

Drrt...drrtt...

Ah! Apa pula itu. Siapa yang mengusik ketenangan ponselku, ketika aku sedang berusaha meredam usikan-usikan setan di hatiku.

Drrt..drrtt...

Sepenting itukah hingga berkali-kali?
Baiklah, mungkin ibu yang hendak

Apa? Tunggu. Apakah tak salah mataku ini? Oh, Tuhan. Semoga bukan efek rabunku yang semakin bertambah di usia muda.
Apa benar yang ku baca?
Nama itu,

-Dia-
"Udah tidur belum?"

Belum! Mataku masih awas, benar-benar awas. Terlebih lagi setelah membaca namamu tertera di layar ponselku.

-Dia-
"Sorry ya, kalo ganggu."

Oh, apa katamu? Mengganggu? Sepertinya hampir setiap malam aku menimang-nimang ponselku. Membiarkan desauan-desauan angin khayalan menerbangkan pesanmu, meski sebenarnya tak pernah ku izinkan sebintik benih harapan pun tumbuh di ladang hatiku. Tidak ingin berharap padamu sedikit pun!—walau aku seringkali menunggu. Ya, menunggu meski sering tak ku akui. Lantas, apakah pesanmu bisa disebut menggangguku?

Tanganku seperti gemetaran mengetik balasan untuk pesan singkat yang sebenarnya tak penting itu. Tapi, bukan. Bukan tanganku yang gemetar, melainkan jantungku yang bergemuruh hebat hingga menggetarkan syaraf-syaraf jari tanganku dan gemetar dibuatnya.

-Aku-
"Tidak. Ada apa?"

Senormal mungkin! Senormal mungkin aku membalas pesan itu padamu, sangat kontras sekali dengan keadaan jantung dan saluran pernapasanku yang hampir meledak karena gemuruh hebat—baiklah, maaf jika aku sedikit berlebihan di sini. Tunggu, maksudku sangat berlebihan!

Dia sedang mengetik...


Oh, Tuhan! Kupikir... sudah.
Ternyata ujianku belum benar-benar berakhir. Sebab pada ujian sebelumnya nyatanya aku belum lulus. Bahkan, saat ini pun, ku rasa... GAGAL!

Tuhan... Ampuni aku.

Pada akhirnya, pernyataan terakhirku untuk beberapa pertanyaan yang sama sebelumnya: "Apa benar aku sudah seikhlas itu?", jawabannya adalah: "Ternyata aku belum benar-benar ikhlas. Melepasnya... belum."

Sebab hingga larut menginjak hari lain, mata dan jariku masih terpaku padanya.
Ampun, Tuhan... Bantu aku. Lirihku setengah terlelap.



-Tulungagung, 09/02/2016, 22:25-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar