Selasa, 15 Maret 2016

"DELTA"

Cerpen Fiksi
Genre : Misteri-Romance
Word Count : 1.888




Udara dingin malam ini cukup membuat perut lapar. Terlebih lagi panitia seperti aku dan kawan-kawanku yang sedang mempersiapkan acara untuk esok hari, perut kami hampir terasa melilit beriring peluh yang mengucur dari sela pori-pori kulit. Lelah, lapar, lengkap sudah.

"Buuur... sumsum! Pisaaang... goreng!" Bak angin segar yang berembus di gurun sahara, teriakan pedagang kaki lima itu seperti memberi percikan harapan energi bagiku.

Sekolahku memang terletak tak jauh dari taman kota, jadi pasti banyak pedagang yang berlalu lalang di sekitar sini, baik siang maupun malam. Lumayanlah, tak perlu jauh-jauh mencari makanan jika dalam keadaan terdesak.

"Ah, sepertinya enak dingin-dingin begini makan pisang goreng. Itung-itung ganjal perut, nunggu jatah konsumsi lama!" Batinku berbinar. Aku yang sebenarnya tadi berniat untuk kembali berkumpul bersama teman-teman di ruang sekretariat setelah dari kamar mandi pun terurungkan, memutuskan untuk membeli beberapa gorengan dan membawanya kepada mereka sepertinya kejutan kecil yang menyenangkan. Karena aku yakin, mereka sama laparnya denganku. Aku pun berjalan sendiri ke arah gerbang yang lampunya sedikit meremang, untung saja sekolahku tak terlalu luas, jadi tak begitu menakutkan untuk sekedar pergi keluar, sebab jaraknya cukup dekat dengan ruangan-ruangan di gedung sekolah yang terang dengan beberapa lampunya.

"Ca, mau kemana?" Langkahku terhenti ketika mendengar seseorang memanggil.
"Delta? Lo udah sampai ternyata," ujarku sedikit terkejut. Dia Delta, teman satu organisasi sekaligus sesama panitia dalam acara esok hari. Bukan karena apa-apa, sore tadi Delta izin pulang terlebih dulu untuk mengambil baju, dan ternyata kurang lebih baru satu jam, dia sudah ada lagi di sekolah.

"Mau beli bubur? Aku nitip dong," pintanya padaku, "tapi pakai uang kamu dulu ya?" Ujarnya kemudian. Sepertinya kali ini Delta sedikit berbeda. Tak biasanya dia memakai sapaan aku-kamu denganku.  Rasanya terlalu formal bagiku yang sudah terlampau akrab dengannya.

"Tumben. Biasanya juga lo-gue. Kesambet apaan lo, Del?" Timpalku terkekeh kecil. "Iya deh, gampang. Lo laper beneran ya? Pucet gitu mukanya. Harusnya tadi makan di rumah sekalian, Del!" Aku pun berjalan kembali ke arah gerbang seraya berteriak memanggil pedagang dengan gerobak besar itu, meninggalkan Delta yang hanya tersenyum sekilas menanggapi ocehanku. Tak seperti biasanya. Ku rapatkan sedikit jaket yang melekat padaku, tiba-tiba saja udara terasa semakin dingin.

"Bubur, Neng?" Sapa bapak penjual itu ramah.

"Iya, Bang. Satu porsi. Sama pisang gorengnya lima belas biji." Jawabku.

"Malem-malem kok masih di sekolah, Neng. Nginep ya?" Tanya bapak penjual itu seraya meracik bubur dalam wadah sterofoam putih karena aku tidak membawa mangkuk.

"Iya, Bang. Besok ada kegiatan akhir sekolah, jadi panitianya lembur nginep sini." Jawabku.

Kring

Ponsel dalam saku rok panjangku berdering satu kali, tanda sebuah pesan dari laman chatting masuk. Segera ku ambil dan tertera nama 'Delta' di sana.

"Nggak sabaran banget ini anak." Gumamku.


From: Delta OS

Ca, lo nginep sekolah kan? Gue ada sesuatu, 15 menit lagi nyampek. See you, Cablak! :P


"Limabelas menit lagi? Bukannya dia udah di halaman tadi?" Batinku sedikit kebingungan. Mungkin pesannya tadi tertunda. Udara kembali berembus dingin seketika, dan lamunan kebingunganku terpecahkan oleh lambaian tangan penjual bubur tepat di depan wajahku.

"Ngelamun aja, Neng. Ini udah selesai pesenannya."

"Oh, iya. Maaf, Bang. Jadi berapa?" Ujarku tergagap seraya menyodorkan selembar uang dua puluh ribuan dan segera berjalan kembali memasuki area sekolah. Mengabaikan abang penjual yang sayup-sayup seperti mengingatkanku untuk tidak melamun malam-malam di sekolah, tidak baik.

Tatapanku masih terpaku pada pesan Delta yang baru saja masuk, dengan spontan aku mengetikkan balasan padanya.


To: Delta OS

Koneksi lo lemot ya, kayak yang punya? Pesan lo baru masuk, Del.


Tak lama setelah aku mengirimnya, dua centang biru sudah tertera di sana. Delta sepertinya mulai mengetik. Aku pun menggeser pagar besi yang sedari tadi hanya ku pegangi karena fokusku masih pada pesan dari Delta yang sedikit membuatku heran.



From: Delta OS

Enak aja. Gak! Gue masih di lampu merah ini. 10 menit lagi nyampek.


Deg!

Jantungku berdebar lebih cepat seketika, dingin terasa merambat pada tengkukku yang padahal tertutup kerudung cukup tebal ini. Jika Delta masih di perjalanan, lantas siapa laki-laki tadi?



To: Delta OS

Becanda lo nggak lucu!


Segera aku menutup pintu dan berjalan menuju ruang sekretariat dengan jantung yang masih berirama rancu. Sialnya, ruang sekretariat berada di ruang ke tujuh dari ruang pertama dekat gerbaang. Terasa sangat jauh ketika batin dilanda ketakutan seperti ini.

"Ca!" Seseorang kembali memanggilku. Jantungku terasa semakin berdentum tak karuan. Aku kenal sekali suara itu, itu Delta.

"Ca," Sebuah tepukan pelan ku rasakan di bahu kananku bersamaan dengan panggilan namaku yang terdengar kembali. Spontan karena terkejut, aku melemparkan begitu saja sterofoam berisi bubur sumsum yang sedari tadi ku pegang. Beruntung, plastik pisang gorengnya tak ikut terlepas karena ujungnya sudah terlilit di lenganku.

"LO SIAPA, JANGAN GANGGU GUE! ALLAHU LAAILLAHAILLA HUWAL HAYYUL QOYYUM..." teriakku meracau kacau dengan tangan yang ku kepalkan di samping telinga dan mata yang terpejam. Sebisa mungkin mengingat bacaan-bacaan ayat yang dipercaya bisa mengusir hantu atau semacamnya terus ku ucapkan.

"Ca, ini gue! Delta!"

"ALLAHUAKBAR!!!" Teriakku tertahan lirih. Padahal, sekuat tenaga ku rasa telah ku kerahkan untuk berteriak.

"Ca, buka mata lo! Ini gue, Delta! Nih jantung gue... ah! Gimana mau gue tunjukin, lo pasti bilang bukan muhrim." Ujarnya yang sayup-sayup ku dengar di antara racauanku sendiri yang semakin tak karuan. Bulir-bulir keringat dingin terasa mengucur deras di tiap pelipisku.

"Lewat, menelusup hawa malam yang pekat,
aku berlari dilatar purnama rembulan,
meneropong hamparan rahasia alam, antara kau diriku." Ku dengar Delta bersenandung lirih. Aku sedikit terkesiap, lagu itu.

"Meraba kabut, menebak nebak isi hati.
yang tak terasa sekian lama tak kunjung ingin pergi.
perasaan apa yang tak tau berarti.
antara kau diriku."* Jantungku perlahan mulai berkurang dentuman kacaunya, hawa dingin yang tadinya terasa mencekam kini perlahan menghangat. Aku mencoba membuka mata, sosok Delta masih terlihat bersenandung lirih.

"Udah? Lo kenapa?" Tanyanya mencoba berhati-hati dan tersenyum sekilas. Namun entah kenapa tangisku pecah seketika, hampir saja aku oleng jika tak segera meraih ujung jaket yang Delta kenakan sebagai peganganku karena tak berani menyentuh laki-laki secara langsung.

"Sekarang, gue anter ke sekretariat." Ia pun mulai berjalan pelan di depanku. "Nggak ada yang bisa nyanyiin lagu itu seindah gue, Ca. Lo harus percaya kalo gue Delta. Udah, jangan nangis." Ujarnya lagi, percaya diri sekali, batinku. Aku pun mengikutinya berjalan dengan tangan yang masih ku genggamkan erat pada ujung jaket merahnya itu. Ku lihat kakinya menjejak tanah, semoga dia benar Delta. Apalagi tadi lagu itu, lagu yang Delta ciptakan dari puisi buatanku, hanya dia dan aku yang tahu, setidaknya untuk saat ini. Itu sudah cukup membuatku jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Meskipun saat ini entah kenapa isakan tangisku belum juga reda.

"Kenapa, Ca? Kok nangis!" Teriak seorang teman perempuanku setelah aku sampai di depan pintu ruang kelas yang sudah dirubah sementara menjadi ruang sekretariat. Segera aku menghambur masuk dan memeluknya. Seketika seluruh orang yang berada di ruangan itu pun mengerubungi kami.

"Tadi aku... tadi-"
"Ini minum dulu, duduk sini." Ujarnya yang tak lain adalah Eva, teman sekaligus orang yang sudah ku anggap sebagai kakakku sendiri. "Cerita pelan-pelan. Ada apa?"

Ku tata napasku sebaik mungkin sebelum aku membuka suara, kejadian tadi sungguh mengguncang batinku. Padahal tak biasanya aku sepenakut itu.

"Tadi aku mau beli pisang goreng buat cemilan kita," ujarku mulai bercerita, "di halaman tiba-tiba ada Delta yang katanya sekalian nitip bubur sumsum," sejenak aku terhenti mengatur napas kembali, "pas aku nungguin abangnya ngejualin, ada chatting masuk dari Delta, dia nyuruh aku nunggu 15 menit karena ada perlu sama aku. Delta lagi di jalan. Aku kira pesannya pending, Va, ternyata enggak. Pas aku balik mau ke sini, aku-" perkataanku terhenti, aku hampir kehilangan kontrol napasku kembali, "aku ketemu Delta lagi. Aku pikir dia bukan manusia, aku takut, Va. Tapi abis itu dia ngomong sesuatu dan aku lihat kakinya juga napak, makanya aku percaya dia Delta. Trus dia nganter aku ke sini." Ujarku yang kemudian mengakhirinya dengan kembali meneguk air yang di sodorkan Eva sebelumnya.

"Dia nganter kamu ke sini?" Tanya Eva yang hanya ku balas dengan anggukan kecil.

"Oh. Eemm... ya udah. Kamu tenangin dulu diri kamu. Rebahan di situ juga boleh." Aku pun menyetujui saran Eva. Spertinya aku butuh bersandar untuk menghirup napas lebih banyak dan lebih tenang lagi saat ini. Aku tak begitu peduli dengan tatapan-tatapan yang entah terkejut atau merasa diriku berlebihan tentang apa yang baru saja ku alami. Nampak Eva sesekali menyilangkan telunjuknya di depan bibirnya kepada beberapa orang yang ada di ruangan ini. Biarlah. Apapun yang mereka lakukan. Setidaknya aku merasa lebih aman sekarang. Napasku sudah tidak memburu hebat seperti tadi.

Sebuah lagu akustik mengalun dari ponselku. Aku sedikit terhenyak. Takut-takut Delta memberiku kabar mengejutkan lagi tentang keberadaannya sekarang. Tapi ternyata bukan Delta, melainkan Tante Ratmi, ibunya Delta. Aku yang sudah mulai tenang segera mengangkat panggilan itu dan berusaha berbicara dengan nada senormal mungkin meski aku sedikit heran, tumben Tante Ratmi menelfonku malam-malam begini.

"Barangnya Delta ada yang ketinggalan, Te?" Tanyaku.

"Iya, Sayang. Bisa ya, kamu sekarang ke rumah tante?"  Ujar wanita yang umurnya tak berbeda jauh dengan ibuku itu di seberang sana perlahan.

"Kenapa nggak Delta aja yang pulang, Te? Harus Caca ya? Lagian Delta udah sampek di sekolah kok, apa Caca ke sana bareng Delta aja?" Ujarku memberondong pertanyaan pada Tante Ratmi.

"Delta ada di sana? Enggak, Sayang. Delta di sini. Kamu ke rumah sekarang ya, Nak?" Ujar Tante Ratmi. Ku dengar ia mulai sedikit terisak. Sebenarnya ada apa ini.

"Tante nangis?" Tanyaku. Eva dan kawan-kawan kembali mengerubungiku. Mereka penasaran dengan apa yang sebenarnya aku bicarakan di telfon. Ku putuskan untuk menggunakan mode speaker agar semua bisa mendengar dengan jelas, siapa tahu penting juga bagi kita semua, karena ini menyangkut Delta.

"Sayang, Caca, dengerin tante ya, Nak? Kamu harus sabar," Ujar Tante Ratmi menggantungkan kalimatnya. Aku semakin tak mengerti. Ada apa ini, "motor Delta mengalami kecelakaan di dekat perempatan terakhir dari rumah ke sekolah,"

Tidak mungkin. Pasti ini salah. Atau mungkin jika benar, hanya kecelakaan kecil. Ya! Jelas-jelas Delta tadi mengantarku ke ruang sekretariat ini. Pasti hanya luka ringan.

"Ada barang dari Delta yang mau dia kasih buat kamu, tapi Delta nggak bisa ngasih langsung, Ca. Kamu ke sini ya?"

"Separah apa, Te? Dia tadi masih bisa nganter Caca ke ruang sekretariat kok. Barusan loh, Te!" Aku kalut. Apa yang dibicarakan Tante Ratmi ini, apa beliau bersekongkol dengan Delta mau mengerjaiku. Ya, aku tahu besok memang hari ulangtahunku, tapi nggak begini juga kejutannya!

"Ca, sebenernya..." Eva tiba-tiba memotong percakapanku dengan Tante Ratmi di telfon yang sengaja ku speaker-kan suaranya, "sebenernya tadi kita semua nggak ada yang liat kamu dianter Delta, Ca. Kamu ke sini sendiri." Ujar Eva. Baiklah, apalagi sekarang. Tidak hanya Delta dan Tante Ratmi, semua orang di sini bersekongkol mengerjaiku.

"Nak, Caca," Lanjut Tante Ratmi parau di seberang, "tante nggak lagi bercanda, Sayang. Delta udah nggak ada."

Deg!

Tiba-tiba aku seperti tidak bisa merasakan keberadaan ragaku. Dan satu detik setelah Tante Ratmi memutuskan telfonnya, semua terlihat gelap.

---

Buat: Cablak! :P

Caaa! Barakallah yaa. Cieee yang suit sepentin... gue cuma bisa ngasih ini ke lo. Dibaca ya? Kalo mau, bacain buat gue juga. Oh iya, surat Ar-Rahman gue favoritnya :D yaa semua surat baik sih, terserah lo deh, mau bacain gue yang mana. Jangan lupain gue kalo gue suatu ketika nggak bareng lo lagi, still be my bestie, Cablak! Lo sahabat gue yang paling istimedut pokoknya :v *yaah..semoga nggak baper aja*
Bye, see you again, Ca! Barakallah...

Sebuah surat kecil berwarna biru muda dengan sebuah Al-Qur'an berwarna sama kini sudah berada di tanganku. Tante Ratmi baru saja memberikannya. Ternyata ini barang yang dikatakan Delta 'sesuatu untukku'.

Terimakasih atas kejutannya, Delta. Semoga tempatmu indah di sana bersamaNYA. See you again, my bestie. My best friend. 



#MalamNarasiOWOP
-Tulungagung, 15/03/16, 21:31-



* Penggalan puisi dari kumpulan puisi milik Panca: "Puisi Ini Untukmu"

1 komentar: