Selasa, 25 Oktober 2016

Cerpen: "Dermaga"




Malam baru akan memulai perjalanannya, saat sebuah pemberitahuan tanpa dering menyisakan sebuah pesan pada ponselku yang tak bergeming cukup lama. Pesan dari sebuah grup obrolan kepenulisan.

“Gaes, Malam Narasi, yukkkkkk~”,
begitu ia tertulis. Aku mengikuti sebuah grup kepenulisan yang tiap satu malam dalam satu minggu selalu ada agenda bernarasi. Biasanya, seseorang akan mengirim sebuah gambar acak untuk nantinya menjadi tema dalam sebuah karya yang harus disetor orang-orang yang mengisi daftar hadir. Entah kenapa, tiba-tiba aku bergairah sekali untuk mengikutinya hari ini. Padahal dalam beberapa minggu terakhir, aku seperti ogah-ogahan. Bukan karena gambarnya jelek atau sulit. Bahkan saat ini saja aku pun belum tahu, gambar apa yang akan muncul. Hanya saja... entahlah. Aku malas.

Aku terenyak sepersekiandetik, saat kurang lebih dua jam kemudian gambar itu dikirimkan. Gambar landscape sebuah dermaga malam hari dengan lampu-lampu kuning yang menghias di sisi kanan dan kiri, serta deretan kursi-kursi kayu yang diletakkan pada bagian kiri saja, terlihat timpang memang, kosong sebelah. Nuansanya redup, damai—meski lebih sedikit mistis. Tapi bukan kemistisan itu yang menggangguku, bukan kursi tak seimbang yang mengusik. Hanya saja nuansa itu, lampu-lampu keemasan yang berbaris di sisi jalan, air yang kukhayalkan berkecipak tenang di bawah dermaga itu, mereka yang kumaksud. Mengingatkanku pada sebuah tempat, dan seseorang yang pernah ingin untuk pergi ke sana. Pada suatu malam, entah bersama siapa.

Sudah empat tahun lamanya sejak saat itu. Ketika membuka akun media sosial pada sebuah pagi, tak sengaja aku melihat sebuah gambar yang baru kau unggah lima menit lalu. Tak ada wujudmu. Hanya sebuah gambar landscape malam hari bernuansa keemasan yang disebabkan barisan lampu di sisi-sisi jalan, ada pagar besi pendek yang mengitari, dan air yang mengalun takzim di sisi kanannya. Ah, sepertinya aku mengenali tempat itu. Sayangnya aku lupa, tak tahu persis dimana.

Aku meninggalkan tanda suka pada unggahanmu, dan seperti sebuah simbiosis, unggahanmu pun meninggalkan jejak padaku: penasaran. Terlebih, setelah membaca keterangan yang kau tuliskan di bawah gambar, yang seperti menunjukkan semalam kau mengunjunginya. Hingga tujuh jam kemudian, kita bertemu. Lagi-lagi tanpa sengaja.

Siang itu sekolah dipulangkan lebih awal dari biasanya. Aku yang masih enggan pulang memutuskan untuk pergi ke balkon yang tak jauh dari ruang kesenian.

“Enak juga ngadem di sini kalo pas sepi kayak gini,” gumamku yang sedang menikmati embusan angin. Sejuk sekali siang ini, sepertinya akan turun gerimis.

“Iya, enak. Sayangnya bentar lagi pasti bakalan rame.” Aku terjingkat. Sebuah suara tiba-tiba muncul mengagetkanku. Dadaku menghangat seketika, saat aku menoleh dan menemui sosok sebaya denganku yang duduk di kursi sisi balkon yang agak jauh dari tempatku berdiri. Sepertinya dia sudah lama di sana, dan sialnya aku tidak sadar jika dia itu adalah kamu.

“Hehe. Kaget ya?” kau terkekeh kecil melihatku terpaku saat itu.

“A, Oh. Aku nggak sadar kalo kamu di situ tadi.” Aku gugup. Kau tahu, saat itu aku berharap kepada Tuhan, agar Ia memberiku kekuatan untuk lenyap beberapa waktu saja, setidaknya setelah wajahku tak memerah lagi menahan jantungku yang berdetak tak beraturan setelah melihat sosokmu.

“Aku biasa ke sini kok, apalagi barusan kelasku jam kosong,” ujarmu yang mulai berdiri. Setengah sebal setengah bahagia, aku merutuk saat kau memutuskan beranjak ke arahku. Yang benar saja, harus ku apakan mukaku yang semakin memerah ini jika kau harus melihatnya dari jarak dekat. Aku bingung, rasanya sebentar lagi aku akan seperti kutu yang mati menghadapimu.

Tapi ternyata aku salah. Kau seperti api kecil pada sekotak cokelat beku, pembawaanmu yang santai namun hangat berhasil mencairkan suasana hingga canggung yang kuciptakan hilang tanpa bayang. Terlebih saat kau berkata, “Oh ya, dan aku manusia. Tidak perlu gugup ketika melihat sosokku yang tiba-tiba muncul. Aku bukan setan, kan aku tampan.” Mau tidak mau aku harus terkekeh saat itu. Kau percaya diri sekali, dan aku sedikit geli.

Sejak saat itulah, seperti ada percikan baru dalam anganku. Kamu yang sebelumnya kulihat seperti kilau bintang yang menggantung indah di latar langit, dan aku seekor kunang-kunang yang hanya bisa berkerlip pelan untuk terkagum melihatmu dari taman bumi yang jauh, tak mampu sejengkal pun merengkuh. Tapi, setelah siang itu, aku merasa telah menjelma sebagai salah satu gelembung dari gugusan awan di sekitarmu, begitu dekat.

“Kau terlihat senang sekali dengan keberangkatanmu kali ini?” tanyaku memulai percakapan. Saat itu adalah enam bulan setelah siang dimana secara tak sengaja keberadaanmu yang tak terduga itu mengagetkanku . Aku sudah jauh lebih tenang lagi jika ada kau, tak segugup dulu.

“Tentu saja. Aku penasaran dengan salah satu taman di kota itu. Di sekelilingnya ada danau, sepertinya indah jika aku bisa benar-benar berada di sana saat malam hari.” Jawabmu penuh semangat, aku melihat ada binar yang benar-benar bahagia di sana. Hatiku tergelitik, nyatanya aku selalu senang melihat senyum yang mengesankan itu. Meski beberapa detik kemudian, binar mata dan senyum itu meredup, “sayangnya aku hanya berangkat sendiri.” Lanjutmu pelan.

“Memangnya kau ingin berangkat bersama siapa?” tanyaku saat titik pertama hujan mulai menyentuh tanah, menemani perbincangan yang hanya berlangsung singkat sore itu. Kau akan segera berangkat.

Diam adalah cara yang kau pilih untuk menjawab pertanyaan yang kulontarkan. Toh juga aku tidak memaksamu menjawab, akan sangat menyesakkan kukira, jika jawaban yang kau sampaikan tak seperti yang kuharapkan. Kau tahu, aku berharap bahwa namaku yang akan kau sebut. Haha. Sungguh harapan yang tak tahu diri, bukan?

 “Oh ya, bukankah dulu kau sudah pernah pergi ke tempat yang tadi kau katakan itu?” tanyaku lagi, sebab sepertinya kau terlihat kurang nyaman dengan pertanyaanku sebelumnya. Dahimu terlihat mengerut saat itu, dan aku membacanya sebagai sebuah isyarat kau berkata: “Kapan?”.

“Kapan?” tanyamu kemudian. Tepat sekali. Kau benar-benar bertanya hal itu, bukan? Dan aku senang tebakanku benar!

“Dulu, malam sebelum kau mengagetkanku di balkon itu.”

Kau terlihat mengingat-ingat sesuatu, saat itu aku sempat khawatir jika karena perkataan yang baru saja kulontarkan, membuatmu mencurigai bahwa ternyata aku telah memperhatikanmu sejak lama.

“Pagi itu aku tak sengaja melihat kau mengunggah sebuah gambar. Seingatku gambar itu persis seperti tempat yang baru saja kau sebutkan ciri-cirinya.” Kataku kemudian, mencoba menutupi kegugupan. Lalu kau tampak tersenyum. Sepertinya kau telah berhasil memanggil memori tentang hal itu kembali.

Katamu, unggahan waktu itu bukan karena baru saja mengunjunginya. Hanya saja kau baru menjelajahi mesin pencari, menemukan gambar itu, tertarik, lalu mengunggahnya. “Kau tahu, saat itu aku berharap bisa ke sana, dan ternyata sebentar lagi akan kesampaian,” ujarmu mengulas senyum. Meski tipis, lagi-lagi aku tetap menyukainya.

Sayangnya percakapan sore itu harus segera berakhir. Hujan semakin deras, kendaraan sekolah dengan beberapa guru pendamping juga sudah siap berangkat. Sore itu, kau akan berangkat ke luar kota untuk perwakilan sekolah mengikuti lomba fotografi pertamamu. Ah, sudah lama juga ya. Empat tahun berlalu, apakah potretanmu semakin bertambah hebat, atau justru memburuk? Aku sudah lama sekali tak tahu kabarmu.

Sore itu aku mengintip di balik tirai hujan. Melepas pergimu tanpa lambaian. Ada setitik gusar yang kurasakan. Minggu depan, dua hari setelah kepulanganmu dari luar kota, giliran aku yang akan pergi. Hanya saja bukan untuk sekedar satu atau dua minggu sepertimu, tapi entah berapa lama, aku pun tak bisa memastikannya, bahkan bisa jadi mungkin selamanya.

Aku pergi. Ke kota yang sama seperti tempat yang akan kau kunjungi. Aku akan pindah ke sana, dan untuk mengatakannya padamu aku belum bisa.

Hujan semakin deras saja sore itu, begitupun sore-sore setelahnya. Seperti mengerti hati ini sedang bergemuruh mengantar perpisahan yang sebentar lagi akan kita alami. Oh, maksudku... aku. Mungkin hanya aku di sini yang merasa sedih harus berpisah darimu, meski nyatanya selama ini kita tidak benar-benar ‘bersama’. Sehari setelah kepulanganmu, setelah kau puas bercerita tentang banyak hal yang kau temui saat di luar kota, hujan kembali menyapa.

“Sepertinya menyenangkan sekali ya di kota itu?” aku bertanya padamu yang sedang tersenyum lebar. Bahagia. Dan lagi-lagi, aku menyukainya.

Sayang. Hatiku benar-benar tak bisa ikut bahagia saat itu.

“Hei?” ujarmu berusaha membuyarkan lamunanku, mungkin kau melihat tatapanku kosong. Tapi sungguh, saat itu aku bukan tidak mendengarkanmu. Aku merekam semua yang kau ceritakan. Hanya saja...

“Aku besok akan pergi ke kota itu.” Ujarku datar. Kau mengernyit kecil. Kulihat bibirmu hendak terbuka, mungkin saat itu kau akan bertanya ‘Ada agenda apa? Kenapa baru bilang? Berapa lama? Jangan lupa oleh-olehnya ya!’. Mungkin. Tapi sayang aku langsung memotongnya, “Aku pindah ke sana. Entah berapa lama. Mungkin selamanya?” jawabku tanpa berani memandangmu. Kau tahu, aku sangat gugup waktu itu, takut-takut jika air mataku tiba-tiba luruh tanpa bisa kubendung di hadapanmu. Kau melihatku tersenyum sekilas waktu itu, bukan? Haha. Ya, itu senyuman untuk menutupi kegugupanku.

Kau hanya diam. Kurasa saat itu kau menatapku, apa benar? Ah, saat itu aku masih tak berani menatapmu, jadi aku tidak tahu.

Selepas kepergianku, kau suka menghitung waktu. Menuliskan sebuah catatan kecil setiap malam, untuk kemudian satu minggu sekali kau kirimkan berupa surat ke alamatku. Tujuh tulisan, itu berarti setiap hari kau selalu membuatnya. Puisi. Sajak. Sepenggal kisah. Yah, semacam itulah.

Oh ya, aku paling suka saat kau membuat catatan pada hari ke enam di minggu pertama setelah kepindahanku. Kau menulis tentang ombak, buih, hiasan, lampu-lampu yang tak berwarna lagi, langit, bintang yang berbeda. Sepertinya kau ingin menuliskan tentang seseorang yang kehilangan. Apa benar? Dan... apakah itu dirimu? Kau merasa kehilangan siapa? Aku tak tahu persis, dan aku tak berani mengkhayalkan bahwa dia yang kau maksud adalah aku. Aku tak pernah berani bertanya. Aku suka catatanmu itu, terlebih lagi kau menambahkan foto ilustrasi bersamanya. Foto itu adalah tempat yang dulu gambarnya kau unggah dan sempat kutanyakan padamu. Bedanya, kali ini adalah foto hasil potretanmu sendiri. Catatan yang manis sekali.

Hanya saja... kira-kira enam bulan. Entahlah, aku lupa itu minggu ke berapa. Kau tak lagi mengirimiku surat, catatan-catatan, atau gambar hasil potretanmu, tak ada sama sekali. Bahkan, nomor ponselmu pun sudah tidak aktif lagi. Kau resmi menghilang dari peredaran hariku. Dan aku memutuskan untuk membiarkanmu menghilang, tanpa perlu kukenang.

Namun sayang, gambar malam narasi itu menguarkan semua kenangan yang empat tahun ini berusaha kupendam. Aku kembali mengingatmu. Memikirkan tentang, Apakah malammu sudah lebih indah? Apakah lampu yang menemanimu sudah berwarna lagi? Apa sinar bintang yang kau lihat itu lebih indah meskipun berbeda?

Ah, berpikir apa aku ini, tentu saja semua jawabannya adalah: ya. Kemarin aku mendengar dari sahabatmu, bahwa kau akan segera melamar kekasih hatimu. Selamat ya? (Semoga) Aku bahagia mendengarnya.

Malam ini angin bertiup lebih dingin dari biasanya. Aku merapatkan jaketku di tepi danau sekeliling taman, disinari lampu keemasan. Ya, sedari tadi aku berada di sebuah taman. Taman ini adalah tempat di mana foto yang kau unggah waktu itu. Tempat yang ingin kau kunjungi entah bersama siapa. Kebetulan sekali, bukan? Aku di sini, dan tanpa sengaja harus kembali mengenangmu sekali lagi.

Udara yang semakin dingin membuatku berpikir untuk segera pulang. Aku tidak mau mati konyo; karena udara dingin yang bersinergi dengan bekunya kenangan tentangmu yang terkuak kembali malam ini. Aku benar-benar akan pulang, sebelum sebuah suara menghentikan niatku.

“Lama tidak berjumpa. Apa kabar?” suara yang tak asing, batinku. Ah, yang benar saja, gara-gara gambar itu, selain kembali mengenangmu, apa aku juga berhalusinasi seakan seperti mendengar suaramu?

“Lagi-lagi aku beruntung. Bisa kembali lagi ke dermaga ini, bersama orang yang sejak bertahun-tahun lalu aku ingini.”

“Ah, kau? Kenapa bisa di sini?”

“Melamarmu.”





-251016, 22:26-
Rinai 
Malam Narasi OWOP minggu lalu :v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar