Rabu, 09 Maret 2016

"Picisan, Cicak, Perkutut, dan Aku"


Dadaku berdesir beberapa kali. Entah kenapa akhir-akhir ini aku benci membaca kisah-kisah roman picisan pada buku-buku atau pun laman maya yang sebelumnya selalu dengan hati berbunga ku jelajahi satu persatu.


"Hai, selamat! Ingatanmu semakin kuat ya?" Perkutut berteriak ke arahku. Menyapa, meski aku tahu ia tak benar-benar bermaksud menyapa.

Aku pun tahu, kisah kita memang berbeda. Tak sepicisan roman mereka yang penuh haru bahagia pada akhirnya. Si buruk rupa yang bersanding dengan cantik jelita, dua orang pembenci tiba-tiba dalam hitung detik saling mencinta begitu saja, si pemendam cinta yang ternyata rasanya berbalas sama oleh orang yang diam-diam dikaguminya. Ah, basi! Aku bosan membacanya. Jengah mendengarnya. Enggan menerima.

"Lihatlah dirimu! Hendak melangkah saja seperti mencari umbut di batu, sia-sia!" Cicak di dinding itu mencibirku dengan tak berhati. Entahlah, aku pun tak yakin jika cicak memiliki hati, terlebih nurani. Seakan paling tahu tentang kesulitanku merela dan berpindah ke lain raga, pergi darimu.  Abaikanlah! Nantikan saja saat ia di sambar perkutut yang ku tinggalkan di belakang tadi.

Oh ya, sampai mana aku berbicara? Oh, aku ingat.

Ya, benar. Kisah kita memang tak sepicisan mereka. Kita istimewa. Kisah kita jauh lebih istimewa. Tapi tahukah? Kepicisan kisah mereka membuatku iri. Mengapa kisah kita harus seistimewa ini, jika hanya desiran luka yang ada. Terkadang aku berharap picisan saja jika bisa!

HAP!
"Lepaskan aku! Aku berpihak padamu, wahai perkutut!" Rasakan! Ternyata burung itu lebih tak berhati daripada cicak itu sendiri. Bahkan lebih tak berhati dari orang yang telah kehilangan miliknya sepotong hati.

Oh, kau. Maaf, aku menyapihmu. Akan aku lanjutkan.

Dulu, mungkin desir menyakitkan itu kita rasa bersama. Meski tak pernah saling berucap, tapi aku tahu ia ada. Dan kini, mungkin hanya aku. Desir menyakitkan itu, hampa itu, kau telah kehilangannya sekarang. Maksudku, kau sudah berhasil menghilangkannya. Sedangkan aku. Haha. Menyedihkan. Desir itu kian hari kian berjaya saja memekatkan kecemburuanku.

Hening. Tak ada lagi cibiran, tak ada selirih pun teriakan. Aku memutuskan untuk menengok. Ku dapati perkutut telah terkapar di tanah berlumpur. Ternyata cicak jauh-jauh lebih tak berhati, meski ku akui otaknya lumayan cerdik. Racun itu sengaja ia simpan di bawah lengan lengketnya, berjaga saat perkutut memakannya dan kemudian ia mati, maka mereka akan mati bersama.

Dua hewan pencibir yang mengenaskan. Kisah mereka tak kalah picisan. Meski bukan tentang roman.

Dan kita, hanya bisa membaca dengan hati yang bercabang dua. Membaca nanar kisah picisan yang tak pernah kita dapatkan, karena sejatinya, hanya kisah istimewa yang akan kita tuliskan.

Semoga kecemburuanku lekas hilang.



-Tulungagung, 09/03/16, 12:04-

2 komentar:

  1. Selalu bisa buat berbait-bait. Keren! 👍👍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenkyu, fans :v *haha... jkd. Still waiting yours @ lincipan.blogspot.com :D *

      Hapus