sumber gambar ilustrasi: |
Siang
ini langit begitu cerah. Namun teriknya tidak menusuk. Ada keteduhan yang
sengaja diberikan oleh awan tipis lembut itu, seakan dengan rela ia memayungi
dari sengat mentari. Dan kecerahan siang ini sama cerahnya dengan senyum gadis
yang sedang duduk di ujung bangku padang bunga itu, dia sedang memegang sesuatu
di tangannya.
Ia
nampak tersenyum bahagia. Sedari tadi sibuk membolak-balik dan menimang-nimang
sebuah persegi panjang hijau yang masih mengilat itu. Senyumnya semakin mengindah,
karena rona pipinya nampak semakin memerah. Entah karena terusap cahaya siang
yang menyusup di antara rongga awan, atau karena memang sedang ada
butiran-butiran buih yang membuncahi hatinya saat ia menemukan sepucuk surat
dalam salah satu kotak yang lebih kecil dalam persegi panjang hijau itu.
"Kau
boleh mengambil itu jika kau suka, Nona." Ujar sebuah suara dari arah
depan mengagetkannya. Ia tak sadar jika ada seseorang yang berdiri di sana
sedari tadi. Memerhatikan gerak-gerik dan rona merah pada pipi yang tak tirus
namun juga tak tembam itu.
"Oh,
maafkan aku, Tuan. Ini milikmu?" tanyanya tergagap.
"Tak
apa jika kau mau." Balas orang asing di hadapannya itu sembari mengulas
senyum. Senyum yang tak pernah bisa
diartikan gadis itu.
Tapi
tunggu, asing? Sepertinya tidak. Hanya saja ia memang tak pernah bersua
dengannya sedekat ini, tapi ia bukan sosok yang asing. Gadis itu sudah cukup
lama mengenalnya, mengenal laki-laki berkaos hitam di hadapannya itu.
"Terimakasih.
Permisi." Ujar gadis itu kemudian langsung beranjak pergi. Ia tertunduk
malu. Malu jika saja orang di hadapannya itu tahu rona pipinya semakin memerah.
Untung saja ia menemukan sebangun dinding pembatas di balik salah satu pohon
sekitar padang bunga itu. Dan ia memutuskan untuk bersembunyi saja di sana.
Ia
ingin leluasa membaca potongan surat itu yang ia yakini ditulis oleh orang
tadi, namun entah untuk siapa. Toh, bukan masalah juga baginya perihal tertuju
pada siapa surat dan persegi panjang hijau itu. Hanya saja yang ia bingungkan,
mengapa tulisan dan bingkisan indah ini semudah itu ditinggalkan kemudian
diberikan padanya?
Ah,
sudahlah. Tak penting. Sekarang yang sedang ada dalam benak gadis itu hanyalah
surat itu. Indah. Ia suka, tak bosan-bosannya ia membaca berkali-kali. Sambil
sesekali gadis itu mencuri pandang terhadap apa yang dilakukan sosok laki-laki
pemilik barang yang kini menjadi miliknya itu.
"Kau
sedang apa?" Dinding itu bertanya dan memandang bingung gadis yang sedang
menatap dengan mata awas pada seorang lelaki dari balik punggung sang dinding.
"Jangan
riuh. Ku mohon. Izinkan aku untuk tahu lebih jauh tentangnya." Ujar gadis
itu dengan tatapan memohon.
"Baiklah.
Tak masalah." Jawab sang dinding tak begitu mengacuhkan si gadis. Gadis
sedikit lega, dan kembali melanjutkan pengamatannya pada lelaki berkaos hitam
itu.
*****
Senja
ini gadis itu kembali ke padang bunga kesayangannya. Setelah kemarin siang ia
bertemu dengan seorang laki-laki berkaos hitam yang dengan rela dan begitu saja
menyerahkan bingkisan
hijau dan sepucuk surat yang entah untuk siapa. Bahkan, gadis itu tak pernah
berani terpikir bahwa surat itu tertuju untuknya. Tidak mungkin. Memangnya,
siapa dia?
Senja
ini ada yang berbeda. Biasanya gadis itu pergi ke padang bunga dengan tangan
kosong, tapi hari ini ia membawa sebuah pena dan selembar kertas yang ia
masukkan ke dalam persegi panjang dari lelaki berkaos hitam kemarin siang. Yang
tak berubah adalah, dia tetap duduk di ujung bangku itu. Bangku panjang di
antara rekahan bunga-bunga yang ketika angin meniupnya seakan menari-nari
dengan anggun.
Gadis
itu mulai menuliskan sesuatu pada kertas yang ia bawa.
"Hey,
kau menulis apa?" Tanya sebuah suara tepat ketika ia menitikkan kalimat
terakhirnya. Ternyata
suara itu, laki-laki kemarin.
"Boleh
aku membacanya?" Dengan ragu ia mengulurkan tangannya untuk memberikan
secarik kertas yang telah ia tulisi itu. Ia sebenarnya malu, tapi memaksa untuk
memberanikan diri. Entah kenapa, tak biasanya ia senekat itu.
"Oh,
jadi kau penasaran untuk siapa suratku dan bingkisanku kemarin?" Tanya laki-laki itu menebak setelah
membaca apa yang gadis itu tulis dalam kertasnya. Gadis itu hanya diam dan
mengangguk perlahan.
"Dia
bukan orang istimewaku." Ujarnya kemudian mengulas segaris senyum.
Lagi-lagi, senyum yang tak bisa diartikan oleh si gadis.
"Tapi
itu indah, Tuan. Apakah mungkin tulisan seindah itu bukan untuk orang yang
istimewa?" Ujar gadis itu bertanya. Akhirnya ia membuka suara.
"Entahlah."
Jawab lelaki itu singkat.
"Itu
bukan jawaban." Timpal gadis itu cepat. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia
masih benar-benar penasaran tentang orang yang lelaki itu tuju.
"Begini,
Nona. Bukankah, kemarin aku sudah mengizinkanmu memilikinya? Maka anggap saja
itu untukmu. Jadi kau tak perlu risau lagi memikirkannya." Jawab lelaki
yang tak lagi berkaos hitam itu kemudian. Abstrak. Ia memakai warna abstrak
kali ini. Sama abstraknya seperti jawaban yang baru saja ia berikan pada si
gadis.
"Baiklah,
saya permisi. Maaf jika pertanyaan saya mengganggu." Ujar gadis itu lalu
beranjak pergi.
Ia
sedikit kecewa dengan jawaban lelaki asing yang sebenarnya tak asing baginya
itu. Tapi, jawaban yang baru saja teontar dari lelaki itu, tanpa sadar kembali
meronakan pipinya. Seakan ada buih-buih asing yang mendebur dari perutnya,
kemudian meluap ke dada hingga memunculkan rona merah di pipinya.
Seperti
ada rasa yang ia tak pahami.
Gadis
itu pergi. Ia kembali bersembunyi di balik dinding. Memerhatikan lelaki yang
kini menggantikannya duduk terdiam di ujung bangku itu. Berusaha mencari makna
senyuman dan juga jawaban yang baru saja ia dapatkan. Meskipun sulit. Ia tetap
tak mengerti, bahkan hingga lembayung senja menghitam di makan rembulan.
*****
Lama.
Lama sekali. Semenjak gadis itu bertemu dan diberi sepotong surat yang hingga
kini belum terjawab untuk siapa surat itu ditujukan, ia selalu setia menunggu
lelaki itu di ujung bangku padang bunga ini. Menunggu untuk menceritakan dan
mendengar cerita banyak hal. Setiap hari. Namun terkadang, sesekali gadis itu
hanya melihat si lelaki dari balik dinding. Entah kenapa ia suka bersembunyi di
sana. Ia berharap si lelaki kebingungan mencarinya yang tak ada. Harapan yang
kekanakan dan aneh, bukan? Memangnya, siapa dia bagi laki-laki itu?
Dan
senja ini gadis di balik dinding itu
mendecak geram. Ia tak habis pikir dengan
apa yang baru saja ia lakukan. Sedari tadi ia berjalan bimbang ke sana ke mari,
mengitari padang bunga, duduk resah di ujung bangku kesayangannya,
menimang-nimang persegi panjang hijau yang mulai usang itu dengan sendu, hingga
kembali lagi ke
balik
dinding,
"Kau
kenapa?" bisik bingkisan hijau di hadapannya bingung.
"Tidak
tahu," jawab gadis itu murung.
"Sepertinya
kau rindu." Seketika gadis itu terkesiap. Menatap tak percaya dengan apa
yang baru saja terucap oleh benda di hadapannya. “Kau gelisah menunggu
seseorang yang kau panggil tuan itu, bukan?” lanjutnya.
"Tidak!"
Tegas si gadis.
Tak mungkin ia rindu. Ia tak merasa memiliki perasaan apapun pada lelaki itu,
meskipun sering ada buih dan rona yang menyeruak pada jantung dan wajahnya.
"Lantas?"
Gadis
itu hanya diam. Ia tak sanggup lagi menjawab dan menyangkal pernyataan
sekaligus pertanyaan yang terlontar oleh persegi panjang hijau yang ia dapatkan
setahun lalu. Hatinya resah, sudah berhari-hari lelaki berkaos hitam itu tak
datang ke padang bunga ini.
Meskipun beberapa hari yang lalu, ia masih melihat lelaki
itu melintas di jalanan yang memisahkan padang bunga itu dengan danau, tapi
sayang, ia tak datang ke padang bunga itu. Menengok pun terasa enggan.
Bahkan kemarin, si gadis juga melihat sekelebat bayang lelaki itu melintas
lagi, sepertinya ia melirik ke arah padang bunga. Hendak masuk. Namun setelah
melihat gadis itu, si lelaki berbalik arah dan
pulang, mengurungkan niatnya untuk masuk.
Gadis
itu tak mengerti. Apa yang terjadi?
"Basuh
mukamu. Sadarlah! Lebih baik kau segera pergi, percuma kau menunggunya di
sini.” Ujar persegi panjang hijau itu
membuyarkan lamunan si gadis. “Di
ujung sana ada yang menunggumu,” Ia
menunjuk setitik jalan setapak yang tak nampak ujungnya.
Gadis
itu hanya terdiam setelah mengarahkan pandangannya ke tempat yang ditunjuk
persegi panjang hijau yang mulai usang itu.
"Tapi
sebelumnya, beri satu hal untuk lelaki
di antara bunga itu. Paling tidak dia tahu bahwa sebenarnya ada yang tetap
peduli padanya selama ini."
Gadis
itu mengerutkan
keningnya, berlikir sejenak, kemudian mengangguk perlahan, dan...
"Manisan. Ya, manisan!" Pekik gadis itu dalam hati.
*****
Hari ini
siang baru saja akan beranjak dari tahtanya, dan senja masih merangkak perlahan
untuk menggantikan kekuasaan. Gadis itu terkesiap, ketika sepotong manisan yang
ia genggam dalam bingkisan alakadar itu bertanya. "Akan
di bawa kemana aku?"
Gadis di
balik dinding itu tersenyum lembut dan berkata, "Kepadanya," ujarnya
seraya menunjuk seseorang yang sedang berdiri di tengah-tengah padang bunga
warna-warni yang hari ini sedang berada pada puncak mekar seindah-indahnya itu
"Bersikap
manislah padanya, ya? Tapi jangan membuatnya ngilu karena manismu. Melunaklah.
Demi aku. Apa kau mau?" Gadis itu menyunggingkan senyum. Penuh harap.
Ia sengaja
tak masuk ke dalam padang bunga itu. Ia tak mau seperti kemarin, ketika lelaki
itu mengetahui sang gadis berada di padang bunga, si lelaki justru mengurungkan
niatnya untuk memasuki padang bunga itu.
"Kau
tak ingin ke sana?" Tanya dinding tempat gadis itu selama ini bersembunyi
ketika rona merah pada pipinya mulai muncul karena lelaki itu.
Sang gadis
menggeleng dan tersenyum tipis.
"Bukankah
selama beberapa hari terakhir, saat lelaki itu tak datang ke padang bunga ini,
kau selalu resah menunggunya?" Tanya dinding itu lagi untuk memastikan.
"Tidak
perlu. Aku harus pergi sekarang. Aku sadar. Kenapa harus aku merisaukannya yang
belum jelas bagiku, dan melupakan yang sudah menantiku di ujung jalan
sana?" Sang dinding hanya diam dan menatap bingung. Ia tak mengerti.
"Meskipun
yang di ujung sana pun masih belum jelas siapa. Tapi aku akan mencarinya,
berjalan menuju padanya, tidak hanya terpaku pada lelaki yang aku belum yakini.
Toh, jika yang tertakdir berada di ujung jalan sana adalah lelaki itu, aku
pasti akan menemuinya lagi, bukan?" Gadis itu menghela nafas sejenak dan
tersenyum. Mencoba menenangkan dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Jalanku
masih butuh waktu lama. Akan sia-sia jika aku hanya mengharap di padang bunga
yang sebenarnya hanya singgahanku ini. Aku harus menemukan jalan dan
pemberhentianku yang sebenarnya." Lanjut gadis itu. Sang dinding hanya
mengangguk perlahan dan tersenyum. Ia mengerti sekarang.
"Baiklah.
Tinggalkan aku di ujung kursi itu. Aku yakin dia akan mengambilku," ujar
manisan itu menyetujui permintaan sang gadis. Memecah percakapan dinding yang
tanpa sadar memotong percakapannya dengan si gadis.
Persetujuan
yang baru saja dilontarkan manisan itu
berhasil membuat senyum gadis itu semakin melebar, meski matanya berair, tapi
ia merasa lebih lega sekarang, "dan
untukmu, gadis. Hati-hati dalam perjalananmu." lanjut manisan itu ikut
tersenyum simpul.
Setelah
gadis meletakkan manisan itu di ujung bangku, ia bergegas melangkah pergi.
Meninggalkan sang lelaki yang masih belum menyadari jika sedari tadi ada gadis
itu, dan sekarang telah pergi meninggalkannya. Wajar saja tak sadar, ia
termenung dengan posisi yang berdiri membelakangi bangku kesayangan gadis itu
dan si lelaki-dulu.
Gadis itu
pergi. Mencari jalannya. Mencari tujuan utamanya yang masih belum bisa ia tahu
dan temukan. Satu yang akan selalu ia pegang. Jika tujuan itu tak berakhir pada
lelaki itu, berarti ada orang lain yang memang lebih tepat ia tuju. Namun, jika
tujuan itu tak bertumpu pada orang lain,
maka sudah bisa dipastikan, lelaki itu yang akan ditemuinya nanti. Pada waktu
yang tepat, dan jalan yang tepat.
Ia yakin.
Benar-benar yakin.
#GadisdiBalikDinding
-Tulungagung,
25/10/15, 21:01-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar